Friday, March 8, 2013

Sendratari Tulak Baya

Salam, rekan pembaca semua. Kali ini saya menuliskan tentang pertunjukan sendratari yang di pentaskan oleh ibu-ibu PKK dalam rangka memeriahkan Hari Ibu yang jatuh pada tanggal 22 Desember.
Untuk peringatan Hari Ibu tahun 2012 terasa sangat spesial karena bersamaan dengan pujawali di Pura Banjar Babakan. Tercetuslah sebuah ide untuk membuat hiburan berupa tari tarian dengan lakon yang sesuai dengan sejarah Sukawati, khususnya sesuhunan yang melingga di Pura Banjar. Akhirnya setelah mencapai mufakat, para ibu-ibu membentuk susunan pengurus untuk memulai ide ini.
Atas nasehat sesepuh dan tetua akhirnya ditetapkan mementaskan kisah berjudul “Tulak Baya”, diangkat dari cerita Dewa Agung Karna yang menciptakan Tari Palegongan Sanghyang Dedari. Semua pemerannya adalah ibu-ibu PKK itu sendiri, tanpa melibatkan penari profesional, para suami ataupun penari lelaki lain. Berikut cuplikan jalan cerita :
Tulak Baya #3
Alkisah di Kerajaan Sukawati, sepeninggal Ida Dalem Sukawati yang bergelar Sri Aji Wijaya Tanu. Ketiga putra beliau yang bernama Ida I Dewa Agung Jambe, Ida I Dewa Agung Karna dan Ida I Dewa Agung Mayun sedang berdiskusi tentang siapa yang akan menggantikan ayahanda untuk memerintah di Sukawati.
Dalam diskusi tersebut anak tertua I Dewa Agung Jambe tidak berniat menjadi raja dan lebih memilih melakukan Yoga Semadi di daerah yang sekarang bernama Desa Guwang. Sedangkan putra kedua I Dewa Agung Karna hendak melaksanakan Brata Nyukla Brahmacari dengan berpindah tempat ke selatan yang hening di Desa Ketewel. Tersisa putra bungsu I Dewa Agung Mayun yang diserahi tugas untuk memerintah Kerajaan Sukawati.
Diceritakan Dewa Agung Karna, pada suatu ketika dalam perjalanan beliau beristirahat di tepi sebuah sungai didekat Desa Ketewel. Dalam istirahatnya beliau merasa berada di surga, dimana beliau melihat para Bidadari sedang menari-nari dengan begitu indahnya. Keadaan disana begitu indahnya, hati beliau begitu senang dan tidak ingin rasanya untuk meninggalkan tempat itu. Setelah tersadar, beliau masih mengingat gerak tari yang dibawakan para Bidadari tersebut.
Tulak Baya #5
Setelah bertempat di Desa Ketewel, beliau yang masih teringat tarian tersebut kemudian mengajarkannya pada anak-anak yang masih suci, belum mengalami menstruasi ataupun mengenal suka pada lawan jenis. Beliau menamakan tarian tersebut sebagai “Tari Palegongan Sanghyang Dedari”.
Tulak Baya #6
Sepeninggal kedua kakaknya, Raja Sukawati I Dewa Agung Mayun memerintah dengan baiknya sehingga Sukawati menjadi daerah yang makmur dan rakyatnya sejahtera. Pada suatu waktu di tengah pasar para pedagang sedang bercengkrama dengan para pembeli. Mereka tampak bahagia, tidak tampak mereka menghadapi tekanan hidup seperti sekarang ini.
Suatu saat, saking asiknya penduduk beraktivitas mereka tidak sadar hari sudah berganti memasuki sandi kala. Para Bhuta Kala, Raksasa, Leak dan sejenisnya keluar untuk mencari mangsa manusia yang lupa akan swadarmanya ataupun mereka  yang masih bekerja kelewat sore, begitu juga mereka yang masih bepergian saat pergantian waktu itu. Kemudian malapetaka menyelimuti Desa Sukawati, banyak penduduk yang mati mendadak. Pagi sehat siangnya sakit hebat, tiba-tiba sakit tak lama kemudian meninggal. Tua, muda, anak-anak, pria maupun wanita tak luput dari wabah penyakit yang tidak diketahui penyebabnya maupun obat penyembuhnya.
Tulak Baya #9
Dalam kepanikan tersebut, rakyat melapor ke Puri bahwa terjadi musibah mengerikan yang mengancam keselamatan rakyat. Dari hasil investigasi diketahui bahwa penyebab dari musibah ini tak lain bersumber dari Mahluk Gaib yang menyerang semua penduduk. I Dewa Agung Mayun bermaksud untuk menyelesaikan masalah ini sendirian dengan berperang dengan mahluk ini.
Dalam pertempuran yang sengit didapati bahwa mahluk ini begitu kuat, kebal terhadap berbagai senjata dan ilmu yang dilancarkan I Dewa Agung Mayun. Karena merasa terdesak, beliau akhirnya memutuskan untuk meminta bantuan kepada kedua kakaknya. Akhirnya mereka bersama-sama kembali menghadapi musuh-musuhnya dengan begitu gagahnya. Tapi tetap saja keadaan tidah berubah, musuh begitu tangguh untuk dihadapi. Jangankan menghadapi pemimpinnya, melawan anak buahnya saja tidak membuahkan hasil yang berarti.
Tulak Baya #12
Ditengah keputus-asaan mereka, dari atas langit tiba-tiba terdengar suara yang menggelegar. Dalam sabdanya, sumber suara itu menyebutkan bahwa Mahluk Gaib tidak bisa dikalahkan karena berada di alam Niskala. Untuk bisa mengalahkannya hanya dapat dilakukan dengan persembahan berupa tarian yang sebelumnya pernah dipelajari oleh I Dewa Agung Karna.
Terkejut dengan petunjuk dari suara tersebut, akhirnya I Dewa Agung Karna teringat dengan tarian yang pernah beliau dapatkan dalam Semadinya. Kemudian beliau mengumpulkan para muridnya yang pernah diajarkan tarian tersebut untuk menarikan tarian tersebut dengan harapan kekuatan jahat tersebut dapat di netralisir.
Tulak Baya #15
Setelah persiapan yang cukup, kemudian para gadis penari yang masih suci mulai menarikan tarian “Tari Palegongan Sanghyang Dedari”. Diiringi Gending Sanghyang Dedari mereka menari dengan indahnya, persis seperti tarian yang pernah dilihat oleh I Dewa Agung Karna di Surga.
Tulak Baya #16
Akhirnya para Mahluk Gaib mundur dari penyerangannya, kembali ke alam mereka masing-masing. Para kesatria ini pun merasa bersyukur bahwa keadaan dapat kembali normal dan rakyatnya terhindar dari malapetaka ini. Kemudian mulai saat itu diperintahkan pada rakyatnya untuk menarikan tarian “Tari Palegongan Sanghyang Dedari” setiap terjadi bencana, wabah, maupun malapetaka.
Tulak Baya #21
Sekian cuplikan jalan cerita dari sendratari “Tulak Baya”, semoga pembaca terhibur dengan tulisan saya ini. Terima Kasih.

Friday, December 9, 2011

Banjar Babakan Sukawati

Bukan bermaksud narsis di tulisan ini, saya mencoba menulis mengenai tempat kelahiran saya yaitu Banjar Babakan, Sukawati, Gianyar, Bali. Mungkin banyak orang mengenal Sukawati sebagai daerah seni dan gudangnya para maestro seni dan saya akan menulis salah satunya itu adalah tempat kelahiran saya ini.

Para penikmat kesenian wayang tentu sudah tidak asing dengan dalang Wayan Wija yang terkenal dengan Wayang tantrinya, begitu juga dengan dalang Wayan Nartha. Juga tempat kelahiran dalang Nyoman Granyam yang terkenal pada era Presiden Soekarno dimana tahun 1962 beliau mengundang dalang Granyam mementaskan wayang di sebuah Puri di Ubud dengan lakon Sutasoma, di saat itu Presiden Soekarno ingin menyelami semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang terdapat dalam Kakawin Sutasoma untuk dijadikan sebagai pemersatu Bangsa Indonesia.

Selain itu terdapat pula almarhum seniman gender wayang terkenal yang bernama Wayan Loceng yang mana anaknya yang bernama Ketut Sukayana dan Wayan Nik Suprapto meneruskan suksesi orang tuanya. Dan tak lupa saya sebutkan Nyoman Ganjreng yang merupakan keturunan dari Dalang Granyam. Mungkin anda sudah familiar dengan Wayang Cenk Blonk dengan dalangnya bernama Wayan Nardayana dari Desa Belayu Tabanan, beliau ini pernah belajar seni pedalangan dari dalang Wayan Nartha.

Selain dalang, disini juga merupakan tempat lahirnya seniman Tukang Bade, Wadah / Singa terkenal yang bernama almarhum Wayan Sobrat. Keahliannya diteruskan oleh anak anaknya sampai sekarang, walaupun sudah tidak se intense saat beliau masih hidup.

Seniman Perak terkenal yang masih terus berkarya saat ini adalah Nyoman Sadia dibantu oleh kedua anaknya. Beliau sering dikunjungi orang orang terkenal baik pejabat, artis ataupun orang berpengaruh lainnya secara diam diam untuk memesan kerajinan perak dengan desain eksklusif dan tidak ada duanya, hanya membuat satu item untuk satu pemesan. Orang Kanada yang mendirikan brand ternama John Hardy juga pernah merasakan kehidupan langsung dengan beliau dan menjadi muridnya selama menumpang disana.

Disini juga merupakan tempat kelahiran Jero Ratna, sebelum beliau menikah ke Bedahulu dan sekarang menjadi seorang Pemangku. Ada juga seniman ukir wayang, ukir kayu, kerajinan prada, kipas dan lain lainnya yang tinggal disini.

Saya sendiri belum tersentuh jiwa berkesenian walaupun dulu leluhur saya juga merupakan seniman. Saya terlalu larut dalam dunia digital sejak SMP sampai sekarang, dan kebetulan profesi saya di bidang IT sehingga menyebabkan minat berkesenian semakin menghilang. Saat ini saya mempunyai kesibukan tersendiri yaitu membuat proyek digitalisasi Lontar Bali terinspirasi dari karya Aksara Bali dari Babad Bali. Leluhur saya mewariskan banyak Lontar untuk kami rawat dan jaga, juga bertujuan untuk menolong sesama yang membutuhkan bantuan.

Sedikit cerita mengenai sejarah leluhur saya, dulu mereka merupakan Abdi kepercayaan Raja Sukawati. Raja menganugerahi kewenangan untuk menjadi Pemangku Pura Kahyangan Dalem Gede Sukawati, yang diteruskan turun temurun sampai generasi kakek saya yang sudah meninggal. Sepeninggal kakek saya, tidak ada penerus yang bersedia dan mampu melanjutkan pengabdian beliau sehingga Desa Adat menunjuk Pemangku baru yang menggantikan tugas beliau melayani umat. Ayah saya sudah ditunjuk oleh warga Banjar Babakan untuk menjadi Pemangku di Pura Banjar.

Lontar peninggalan leluhur saya yang tersimpan utuh sampai saat ini terus kami rawat sebaik baiknya dengan rajin membuka dan membacanya. Mudah mudahan proyek ini berjalan baik dan kelak bisa di publish online untuk berbagi dengan rekan semua baik yang se-Agama maupun rekan dari Agama lain yang tertarik ataupun sebagai bahan kajian ilmiah.

Ratu Dari dan Ratu Lanang di Pura Payogan Agung

A. Ratu Dari

 Sanghyang Dedari Mask Box

Berdasarkan Raja Purana Pura Payogan Agung bahwa Topeng Ratu Dari dibuat oleh Ki Lampor dari Kerajaan Daha.

Dikisahkan bahwa Raja Kediri mendapatkan pawisik dari Ida Hyang Pasupati yang berstana di Gunung Semeru untuk membuat 7 buah Topeng Dedari yang terbuat dari Kayu Jorjenar untuk dipersembahkan kepada Para Dewata di Gunung Semeru. Raja Kediri akhirnya memerintahkan kepada Ki Lampor (orang kepercayaan dari Puri Daha) untuk membuat Topeng Dedari tersebut. setelah selesai Topeng itu dibuat, Toperng tersebut dipersembahkan kepada Para Dewa yang berstana di Gunung Semeru, selama 42 hari Bhatara di Gunung Semeru merasa puas sehingga Topeng tersebut dikirim. Tak terhingga lamanya Topeng tersebut bersemayam di Kahyangan Jogan Agung belum ditemukan tarian dari Topeng tersebut.

Pada waktu I Dewa Agung Anom Karna berpuri di Ketewel, beliau disamping membangun kembali Kahyangan Giri Jagat Natha juga bersemadi untuk mengetahui tarian Dedari di Indraloka. Selanjutnya diceritakan I Dewa Agung Made Anom Karna menciptakan ragam gerak tari Topeng secara baku, seperti yang ditarikan sekarang. I Dewa Agung Made Anom Karna menciptakan ragam gerak Tari Topeng Legong, terinspirasi dari mimpinya dalam Yoga Semadinya.

Dalam gerak ragam tersebut terlukiskan gerakan ragam Bidadari yang sedang menari nari di kahyangan. Sejak saat itu terciptalah Tari Topeng Legong beserta iringannya berupa Gamelan Semar Pegulingan, yang diberi nama “Tabuh Wali Subandar”.

Mask of Sanghyang Dedari

Tari Sang Hyang Dedari tersebut hanya dipentaskan pada saat Upacara baik Pujawali di Pura-Pura maupun Piodalan di Rumah-rumah penduduk se-Desa Ketewel. Disamping itu Tari Sang Hyang Dedari tersebut berfungsi sebagai penampeh/menolak gering, sasab, merana. Kalau di Desa Ketewel terjadi wabah maka masyarakat menghaturkan geti – geti pisang mas kehadapan Ratu Mas Suci dan Ratu Dedari.

Adapun banyaknya Topeng Dedari yang tersimpan di Pura Payogan Agung berjumlah 9 Topeng. Terdiri dari 7 Topeng Bidadari, 1 Topeng Emban dan 1 Juru Rias sebagai berikut :

  1. Bidadari Supraba
  2. Bidadari Nilotama
  3. Bidadari Sulasih
  4. Bidadari Tunjung Biru
  5. Bidadari Gagar Mayang
  6. Bidadari Aminaka
  7. Bidadari Gudita
  8. Kentrut
  9. Took

Topeng Ratu Dari hanya dapat ditarikan oleh anak anak yang belum menginjak usia remaja (belum menstruasi).

Sanghyang Dedari Dancer

Priest

B. Ratu Lanang

Dikisahkan bahwa Ida Hyang Bhatara Pasupati sudah berparahyangan di Payogan Agung. Beliau memerintahkan kepada Ida Bhatara Gana untuk meniru wajah dari Raja dan para Mentri di Kerajaan Majapahit untuk diwujudkan dalam bentuk Topeng yang terbuat dari Kayu Maya, untuk dipentaskan pada saat puncak Upacara sebagai pemuput Karya. Setelah topeng tersebut selesai dibuat lalu dipersembahkan kehadapan Ida Hyang Pasupati dan berstana di Pura Payogan Agung, Topeng Ratu Lanang ini hanya dapat dipentaskan pada saat upacara Mapedudusan Agung atau Mapedudus Alit di Kahyangan – Kahyangan.

Adapun penarinya harus orang orang yang telah mewinten dan mepedambel. Topeng Ratu Lanang berjumlah 13 buah: 6 buah diantaranya memakai nama sedangkan 7 buah tanpa nama. Nama nama Topeng Ratu Lanang tersebut adalah sebagai berikut :

  1. Sri Surya Mahajaya, topeng ini berwarna Putih
  2. Sri Empu Siddha Karya, topeng ini berwarna Merah Muda
  3. Sri Semara Jaya, topeng ini berwarna Putih
  4. Sri Patih Gajah Mada, topeng ini berwarna Coklat
  5. Sri Kertawardhana, topeng ini berwarna Biru Muda
  6. Sri Sura Yuda, topeng ini berwarna Merah Muda

Fungsi Topeng Ratu Lanang disamping merupakan Tari Wali / Muput Karya juga berfungsi untuk menangkal gering, sasab, merana.

Pura Payogan Agung, Ketewel (Selayang Pandang)

Pura Payogan Agung dan Pura Agung Giri Jagat Natha merupakan Pura Kahyangan Jagat yang terletak di Desa Pekraman Ketewel, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar. Berdasarkan sumber sumber yang ada diantaranya “Raja Purana Pura Payogan Agung” dan prasasti di Grya Jaya Purna Rangkan Ketewel disebutkan bahwa Pura Payogan Agung merupakan Stana dari Sang Hyang Pasupati dengan gelar Ida Bhatara Hyang Murtining Jagat. Dalam Raja Purana Pura Payogan Agung, tidak satupun menyebut istilah Pura tetapi disebutkan dengan istilah Kahyangan, hal ini menunjukkan bahwa Pura Payogan Agung termasuk salah satu Pura Kuno yang ada di Bali disamping juga dibuktikan dengan adanya situs Purbakala seperti Lingga Yoni, Patung Siwa Maha Dewa dan situs situs lainnya.

Lingga Yoni Siwa Mahadewa Tulisan

Pura Payogan Agung sebelum bernama Pura Payogan Agung yang lumrah seperti sekarang ini, dalam Raja Purana disebutkan dengan berbagai nama diantaranya: Kahyangan Joran Agung, Kahyangan Puseh Joran Agung dan Kahyangan Payogan Siwa Agung. Pura Payogan Agung merupakan Prahyangan yang dibangun oleh Ida Hyang Pasupati dan Para Dewata dari Gunung Semeru sebagai tempat Paruman ketika memerangi I Kala Sunya (dibaca I Kala Sunia).

Berdasarkan sumber Usana Bali dan Purana Pura Payogan Agung pada waktu Jagat Bali belum stabil keberadaannya, Ida Hyang Pasupati yang berstana di Gunung Semeru membawa Puncak Gunung Semeru ke Jagat Bali.

Pecahan Puncak Gunung Semeru yang dibawa ditangan kanan Beliau katiwak di Basukih menjadi Gunung Agung dan yang dibawa ditangan kiri Beliau katiwak di Batur menjadi Gunung Batur. Kemudian Ida Hyang Pasupati mengutus Putra Beliau Hyang Putra Jaya berstana di Gunung Agung dan Bhatari Dewi Danu berstana di Gunung Batur yang selanjutnya menjadi sungsungan Jagat Bali. Setelah lama berstana di Jagat Bali, Jagat Bali mengalami kehancuran yang disebabkan oleh I Kala Sunya yang berada ditengah Samudra, yang mengeluarkan berbagai Wisya seperti: gering, grubug, sasab, mrana dan sebagainya.

(dalam Raja Purana disebutkan: I Kala Sunya angrubeda, anguyup-uyup bayuning jagate ring Bali, mertha sarining jagat kauyup, wisyanya keutahang, awanang sering mumbul toyaning samudra muwah ocak jagate ring Bali).

Dengan rusaknya Jagat Bali, Ida Hyang Putra Jaya bersama Bhatari Dewi Danuh menghadap, mohon kepada Ida Hyang Pasupati agar Beliau memikirkan upaya untuk menyelamatkan Jagat Bali dari kerusakan akibat ulah I Kala Sunya. Ida Hyang Pasupati memahami kesulitan yang dialami oleh Putra-Putri Beliau, oleh karena itulah Beliau pergi ke Jagat Bali kairing oleh sejuta Para Dewata. Sampai di Jagat Bali Beliau turun di Alas Jerem (sekarang menjadi Desa Ketewel) pada hari Budha Kliwon Sinta. Di Alas Jerem inilah Ida Bhatara Hyang Pasupati kairing oleh Para Dewata mengadakan Paruman untuk memerangi kesaktian I Kala Sunya.

Pada saat itu disepakati Para Dewata mengadakan penyerangan terlebih dahulu, Para Dewata tidak mampu menandingi kesaktian I Kala Sunya. Akhirnya Hyang Tri Purusa menghadap Ida Bhatara Hyang Pasupati bahwa kesaktian I Kala Sunya tidak bisa tertandingi, maka Ida Hyang Pasupati Ngelarang Pamurtian nyatur Muka nyatur Wedana, akibat pemurtian Beliau batu karang menjadi kayu bakar, air laut menjadi minyak yang menyemburkan api besar yang sangat dahsyat  sehingga I Kala Sunya mengalami kepanasan yang luar biasa. Karena Pemurtian ilutah Ida Hyang Pasupati oleh Para Dewata diberi gelar Hyang Murtining Jagat.

Akibat kepanasan tersebut I Kala Sunya mohon ampun kehadapan Ida Bhatara Hyang Murtining Jagat dan berjanji tidak akan mengganggu Jagat Bali dan bahkan akan menjaga Jagat Bali asalkan setiap Sasih Kesanga (Caitra Masa) kepada I Kala Sunya dipersembahkan Tawur Amanca Wali Krama (dalam Raja Purana disebutkan “Nora Panca Wali Krama kadi ring Basukih”). Ida Hyang Murtining Jagat mengabulkan !

Di Alas Jerem tempat Ida Bhatara Hyang Pasupati dan Para Dewata Paruman dibangun Parahyangan yang dinamakan Kahyangan Puseh Payogan Agung. Pada mulanya Pralingga Ida Bhatara berupa Mas Mirah yang menyebabkan Alas Jerem selalu terang benderang setiap hari kelihatan seperti siang hari selama a dasa warsa (10 tahun). Pada waktu itu tidak ada manusia yang berani lewat atau melintas di Alas Jerem karena Alas Jerem merupakan hutan yang sangat angker/madurgama yang dihuni oleh Buta Siyu. Setelah a dasa warsa barulah turun Pralingga Ida Bhatara berupa Perungggu sebagai pengganti Mas Mirah untuk menghindari niat jahat manusia yang dipengaruhi oleh Kali Sengara. Sejak saat itulah di Alas Jerem kembali normal dalam arti adanya siang dan malam.

Adapun Pratima Perunggu tersebut terdiri dari:

  1. Ida Hyang Pasupati / Ida Bhatara Hyang Murtining Jagat Nyatur Muka Nyatur Wedana / Ida Hyang Siwa Pasupati.
  2. Ida Hyang Brahma Rsi Siwa Budha.
  3. Ida Bhatari Hyang Istri Agung.
  4. Ida Bhatara Hyang Indra.
  5. Ida Hyang Putra Jaya / Hyang Gana / Ratu Ngidung.

Semua Pratima tersebut malingga di Gedong Agung Pura Payogan Agung.

Gedong Agung Pura Payogan Agung

Sebagian dari kutipan Raja Purana Pura Payogan Agung adalah sebagai berikut :

“Murwaning ana Kahyangan Payogan Agung, pasamuan Bhatara ring Jagat Bali, duk Ida Hyang Pasupati kairing prawatek Dewata saking Gunung Semeru tumedun ke Jagat Bali, duk Ida amatening I Kala Sunya ring tengahing Samudra, apan I Kala Sunya angrubeda, muwah anguyup uyup bayuning jagate ring Bali, mertta sarining jagate di Bali kauyup, wisyanya keutahang, awanang jagate di Bali tan langgeng, Ika paduka Hyang Pasupati mekardi pelinggih Jogan Kahyangan Agung, keanggen pasamuan muwang paparuman, rikala amjah I Kala Sunya, kairing ring prawatek Dewata sane malingga ring Jagat Bali, punika kahyangane duaning maparab Jogan Kahyangan Agung, muah bina wasta Payogan Siwa Agung, muah bina wasta Jogan Agung, pakardin watek para dewata saking Gunung Semeru nguni, ana rawuh katekaning mangke. Pira kunang warsa lawasnya Ida Paduka Hyang Pasupati kairing prawatek Dewata malingga ring Kahyangan Payogan Agung ring Alas Jerem, mapralingga Masmirah, setata rahina kanten kahyangane ring Jogan Agung katejanin antuk pralinggan Bhatara a dasa warsa laminya hana manusa lumaku ring Alas Jerem, apan alas ika dahat madurgama kagenahin I Buta Siu”

Monday, December 5, 2011

Catatan Pribadi November 2011

Bulan november 2011 merupakan hari super sibuk dirumah saya karena dimulainya rentetan upacara mulai dari piodalan di Merajan rumah saya sendiri, Otonan saya, Odalan Saraswati juga Pagerwesi. Kami mesti menjaga stamina agar tetap fit menghadapinya dan meminta bantuan dari sanak saudara serta kerabat dekat untuk segala sesuatu yang tidak bisa kami kerjakan sendiri.

Piodalan di Pura Merajan/Sanggah jatuh pada Buda Umanis Dukut, 9 November 2011. Ayah saya memohon saran kepada Ida Pedanda karena bertepatan dengan Purwani Purnama Sasih Kalima. Setelah mendapat pengarahan kami kemudian menetapkan hati sesuai dengan kemampuan budget dan resource yang ada. Selain persiapan dirumah sendiri juga dipersiapkan banten untuk Merajan Agung yang terletak bersebelahan dengan rumah saya. Piodalan dipimpin oleh ayah saya pada pagi menjelang siang karena selanjutyna harus ngayab juga di Merajan Agung.

Ayuning Kakek Tektekan

Ayuning Kakek Cabai

Sawah Jepun

Pada hari minggu saya menyempatkan mengajak anak saya ke sawah membantu paman saya untuk menjaga padi yang baru saja berbuah dari gangguan burung yang jumlahnya sangat banyak. Beruntungnya sebagian besar tanaman padi yang berada di wilayah subak Palak Sukawati tumbuh dan berbuah dengan bagus dan terhindar dari serangan hama wereng maupun virus. Cuma burung ini saja yang cukup merepotkan, mesti diusir langsung karena memakai metode orang-orangan sawah ataupun bunyi bunyian nampaknya sudah tidak mempan lagi menghadapi kejeniusan burung burung itu.

Berselang seminggu kemudian pada Buda Pon Watugunung merupakan hari Otonan saya, tak banyak persiapan karena sudah seminggu sebelumnya dipersiapkan. Semua berjalan sederhana menunggu puncak acara Piodalan Saraswati tiga hari berikutnya. Dan hari Saniscara Umanis Watugunung kami sekeluarga sembahyang bersama dirumah menyambut Hari Raya Saraswati, mengumpulkan semua lontar warisan leluhur kami dan mempersembahkan sesaji kehadapan Sang Hyang Aji Saraswati. Malam harinya dilanjutkan dengan kami sembahyang ke Merajan Agung dan ke Griya.

Keesokan harinya saya bangun pagi pagi sekali membantu ayah yang sudah bangun jam 4 pagi untuk mempersiapkan adonan makanan dalam rangka membuat Nasi Bira/Nasi Kuning dan Loloh (Jamu khas Bali). Ingin rasanya pergi ke pantai bersama keluarga untuk mandi dan nunas Tirta Penglukatan Segara, tapi saya buang jauh keinginan tersebut karena banyak kerjaan yang belum selesai. Terpaksa mandi dan keramas dirumah, kemudin melukat menggunakan Tirta Segara yang sebelunya sudah diambil dan sembahyang.

Agenda saya selanjutnya sembahyang ke Pura Payogan Agung pada Saniscara Pon Sinta tanggal 26 November 2011, dimana puncak piodalan diselenggarakan pada hari Buda Kliwon Sinta tanggal 23 November 2011. Saya bersama keluarga berangkat agak malam pukul 18:00 PM, setelah sebelumnya sembahyang terlebih dahulu di Pura Pemaksan Buda Kliwon yang piodalannya jatuh pada Buda Kliwon Sinta. Sebelumnya pada siang harinya saya menyaksikan upacara Mapeed dimana keponakan saya turut serta.

Keponakan Mapeed / Madeeng

Malamnya di Pura Payogan Agung kami sembahyang berdesak desakan. Saya agak kaget juga karena jumlah pamedek tiap saat bertambah banyak, tak terhitung jumlahnya memadati areal Pura yang walaupun nampak lapang tetap kewalahan menampung pamedek yang berjubel berebutan bisa sampai di Utama Mandala. Beruntung kami sekeluarga bisa sembahyang di halaman utama Pura dan saya sempat mengabadikan kondisi terkini Pura Payogan Agung Ketewel dari barisan depan.

Payogan Agung Pretima

Payogan Agung Odalan

Terakhir kami mesti menyongsong hari Tumpek Landep yang jatuh pada tanggal 3 Desember 2011 bertepatan dengan Pura Pamaksan yang kami sungsung. Walaupun masih dalam kondisi agak lelah, saya bersemangat mengupdate tulisan ini agar tidak keburu terlupakan.