Untuk peringatan Hari Ibu tahun 2012 terasa sangat spesial karena bersamaan dengan pujawali di Pura Banjar Babakan. Tercetuslah sebuah ide untuk membuat hiburan berupa tari tarian dengan lakon yang sesuai dengan sejarah Sukawati, khususnya sesuhunan yang melingga di Pura Banjar. Akhirnya setelah mencapai mufakat, para ibu-ibu membentuk susunan pengurus untuk memulai ide ini.
Atas nasehat sesepuh dan tetua akhirnya ditetapkan mementaskan kisah berjudul “Tulak Baya”, diangkat dari cerita Dewa Agung Karna yang menciptakan Tari Palegongan Sanghyang Dedari. Semua pemerannya adalah ibu-ibu PKK itu sendiri, tanpa melibatkan penari profesional, para suami ataupun penari lelaki lain. Berikut cuplikan jalan cerita :

Alkisah di Kerajaan Sukawati, sepeninggal Ida Dalem Sukawati yang bergelar Sri Aji Wijaya Tanu. Ketiga putra beliau yang bernama Ida I Dewa Agung Jambe, Ida I Dewa Agung Karna dan Ida I Dewa Agung Mayun sedang berdiskusi tentang siapa yang akan menggantikan ayahanda untuk memerintah di Sukawati.
Dalam diskusi tersebut anak tertua I Dewa Agung Jambe tidak berniat menjadi raja dan lebih memilih melakukan Yoga Semadi di daerah yang sekarang bernama Desa Guwang. Sedangkan putra kedua I Dewa Agung Karna hendak melaksanakan Brata Nyukla Brahmacari dengan berpindah tempat ke selatan yang hening di Desa Ketewel. Tersisa putra bungsu I Dewa Agung Mayun yang diserahi tugas untuk memerintah Kerajaan Sukawati.
Diceritakan Dewa Agung Karna, pada suatu ketika dalam perjalanan beliau beristirahat di tepi sebuah sungai didekat Desa Ketewel. Dalam istirahatnya beliau merasa berada di surga, dimana beliau melihat para Bidadari sedang menari-nari dengan begitu indahnya. Keadaan disana begitu indahnya, hati beliau begitu senang dan tidak ingin rasanya untuk meninggalkan tempat itu. Setelah tersadar, beliau masih mengingat gerak tari yang dibawakan para Bidadari tersebut.

Setelah bertempat di Desa Ketewel, beliau yang masih teringat tarian tersebut kemudian mengajarkannya pada anak-anak yang masih suci, belum mengalami menstruasi ataupun mengenal suka pada lawan jenis. Beliau menamakan tarian tersebut sebagai “Tari Palegongan Sanghyang Dedari”.

Sepeninggal kedua kakaknya, Raja Sukawati I Dewa Agung Mayun memerintah dengan baiknya sehingga Sukawati menjadi daerah yang makmur dan rakyatnya sejahtera. Pada suatu waktu di tengah pasar para pedagang sedang bercengkrama dengan para pembeli. Mereka tampak bahagia, tidak tampak mereka menghadapi tekanan hidup seperti sekarang ini.
Suatu saat, saking asiknya penduduk beraktivitas mereka tidak sadar hari sudah berganti memasuki sandi kala. Para Bhuta Kala, Raksasa, Leak dan sejenisnya keluar untuk mencari mangsa manusia yang lupa akan swadarmanya ataupun mereka yang masih bekerja kelewat sore, begitu juga mereka yang masih bepergian saat pergantian waktu itu. Kemudian malapetaka menyelimuti Desa Sukawati, banyak penduduk yang mati mendadak. Pagi sehat siangnya sakit hebat, tiba-tiba sakit tak lama kemudian meninggal. Tua, muda, anak-anak, pria maupun wanita tak luput dari wabah penyakit yang tidak diketahui penyebabnya maupun obat penyembuhnya.

Dalam kepanikan tersebut, rakyat melapor ke Puri bahwa terjadi musibah mengerikan yang mengancam keselamatan rakyat. Dari hasil investigasi diketahui bahwa penyebab dari musibah ini tak lain bersumber dari Mahluk Gaib yang menyerang semua penduduk. I Dewa Agung Mayun bermaksud untuk menyelesaikan masalah ini sendirian dengan berperang dengan mahluk ini.
Dalam pertempuran yang sengit didapati bahwa mahluk ini begitu kuat, kebal terhadap berbagai senjata dan ilmu yang dilancarkan I Dewa Agung Mayun. Karena merasa terdesak, beliau akhirnya memutuskan untuk meminta bantuan kepada kedua kakaknya. Akhirnya mereka bersama-sama kembali menghadapi musuh-musuhnya dengan begitu gagahnya. Tapi tetap saja keadaan tidah berubah, musuh begitu tangguh untuk dihadapi. Jangankan menghadapi pemimpinnya, melawan anak buahnya saja tidak membuahkan hasil yang berarti.

Ditengah keputus-asaan mereka, dari atas langit tiba-tiba terdengar suara yang menggelegar. Dalam sabdanya, sumber suara itu menyebutkan bahwa Mahluk Gaib tidak bisa dikalahkan karena berada di alam Niskala. Untuk bisa mengalahkannya hanya dapat dilakukan dengan persembahan berupa tarian yang sebelumnya pernah dipelajari oleh I Dewa Agung Karna.
Terkejut dengan petunjuk dari suara tersebut, akhirnya I Dewa Agung Karna teringat dengan tarian yang pernah beliau dapatkan dalam Semadinya. Kemudian beliau mengumpulkan para muridnya yang pernah diajarkan tarian tersebut untuk menarikan tarian tersebut dengan harapan kekuatan jahat tersebut dapat di netralisir.

Setelah persiapan yang cukup, kemudian para gadis penari yang masih suci mulai menarikan tarian “Tari Palegongan Sanghyang Dedari”. Diiringi Gending Sanghyang Dedari mereka menari dengan indahnya, persis seperti tarian yang pernah dilihat oleh I Dewa Agung Karna di Surga.

Akhirnya para Mahluk Gaib mundur dari penyerangannya, kembali ke alam mereka masing-masing. Para kesatria ini pun merasa bersyukur bahwa keadaan dapat kembali normal dan rakyatnya terhindar dari malapetaka ini. Kemudian mulai saat itu diperintahkan pada rakyatnya untuk menarikan tarian “Tari Palegongan Sanghyang Dedari” setiap terjadi bencana, wabah, maupun malapetaka.

Sekian cuplikan jalan cerita dari sendratari “Tulak Baya”, semoga pembaca terhibur dengan tulisan saya ini. Terima Kasih.